oleh: Jogi Nainggolan
Sejatinya, bahwa hukum itu berdaya untuk mengatur kehidupan manusia termasuk menjamin keamanan, ketentraman, kenyamanan serta keselamatan manusia. Namun, terjadi problem besar tidak hanya melanda Indonesia, tetapi melanda hampir seluruh negara di dunia, diakibatkan pandemi Covid-19 sampai kini, yang membuat nyawa manusia terancam. Hal itu dapat kita ketahui dari pemberitaan yang tidak henti-hentinya di media elektronik maupun media massa.
Di Indonesia sendiri, juga mengalami persoalan hukum akibat dari dikeluarkannya darurat kesehatan oleh pemerintah, tentunya imbas daripada darurat kesehatan tersebut membungkam pergerakan interaksi sosial masyarakat dan pemerintah mengeluarkan suatu istilah untuk membatasi pergerakan masyarakat tersebut yang disebut dengan PSBB.
“Dari keputusan pemerintah yang mengeluarkan suatu statement PSBB, adakah dampak sosial hukumnya kepada masyarakat?”
Bila dikaji dari hukum positif dalam UUD 1945, bahwa hak hidup masyarakat Indonesia dijamin seutuhnya oleh negara, dalam arti yang lebih luas bahwa masyarakat tidak dibatasi pergerakannya dan dapat melakukan interaksi sosial termasuk di dalamnya bekerja di sektor pemerintahan dan swasta, melakukan dagang baik sifatnya sektoral maupun lintas pulau, namun hal tersebut menjadi tertiada diakibatkan PSBB yang diterapkan hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan konsekuensinya harus dipatuhi manakala ada yang mengabaikan maka aparat negara akan menindak baik melalui teguran maupun penghukuman denda atau fisik.
PSBB apakah merupakan produk hukum yang dikaji terlebih dahulu melalui kajian akademik, tentu menjadi pertanyaan besar, karena seharusnya setiap produk hukum yang berimbas kepada kehidupan sosial masyarakat, dunia kampus melalui kajian akademiknya karena telah menjadi bagian daripada amanat UU harus terlebih dahulu dilakukan, dengan harapan dan tujuan untuk menghindari produk hukum kesewenang-wenangan untuk kepentingan penguasa namun merugikan masyarakat. Hukum Tidak Berdaya, satu kalimat yang bila kita tarik dalam pengertian yang bersifat filosofi, artinya hukumnya lumpuh dan tidak mengayomi masyarakat secara keseluruhan.
“Bila Hukum Tidak Berdaya, apakah keadilan akan terwujud atau sebaliknya?”
Bercermin dari hal tersebut diatas bila kita kaitkan dengan kebijakan pemerintah yang mengeluarkan PSBB, melarang masyarakat untuk keluar daerah, menutup akses jalan, melakukan pengecekan terhadap setiap pengendara hanya dengan satu alasan, bahwa Covid-19 tidak berpindah tempat ke daerah lain menjadi lahirnya pandemi baru di suatu daerah. Namun, yang mengherankan ada juga pengamat kesehatan yang mengatakan bahwa pandemi Covid-19 tidak perlu ditakutkan, dengan alasan dari sudut pandang medis bahwa virusnya tidak mematikan, akan tetapi disetiap negara justru memperlihatkan situasi yang begitu mencekam banyaknya kematian yang terjadi dan menjadi hal yang mengerikan dan menakutkan.
Bila penulis membuat judul diatas bahwa Hukum Tidak Berdaya sangatlah tepat, karena misteri kematian telah menghilangkan akal pikiran yang sehat menjadi ketidak berdayaan melawan berita misteri tersebut, padahal di dalam ilmu pengetahuan ada yang dikenal dengan teori keraguan Cogito Ergo Sum Dubio Metode Cum.
Lalu sampai kapan ketidak berdayaan hukum ini harus kita biarkan dengan misteri pandemi Covid-19 yang tanda petik dan tanda tanya didalamnya ada misteri kematian. Protokol kesehatan, penulis setuju tetap diberlakukan sebagai masyarakat modern yang seharusnya tanpa adapun Covid-19, bahwa setiap manusia harus menjaga kebersihan diri sendiri, lingkungan maupun alamnya.
Namun, apakah karena pandemi Covid-19 ini, manusia baru mulai menyadari bahwa hidup bersih itu dibutuhkan, sebenarnya bagi masyarakat yang ekonominya menegah ke atas, bahwa hidup bersih sudah merupakan rutinitas gaya hidupnya artinya tanpa ada protokol kesehatan itu sudah dilaksanakan. Namun, negara melakukan perintah yang bersifat generalis tidak memandang status sosial bahwa protokol kesehatan, menjadi suatu produk hukum baru bagi masyarakat.
Tetapi hukum yang lain tidak berdaya seperti yang telah penulis jelaskan di atas, bekerja harus dirumah, bepergian dilarang, berusaha dibatasin dan lain sebagainya, akhirnya hukum tidak menjamin kehidupan manusia yang sejahtera dalam arti yang seluas-luasnya, dan mengabaikan apa yang telah tertulis dalam UUD 1945 pasal 33 yang berbunyi sebagai berikut: ayat (1) berbunyi:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat (2); Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, ayat (3) menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, ayat (4), Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional dan ayat (5); Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Dari tulisan sederhana tersebut di atas pembatasan-pembatasan yang selama ini telah terjadi dapat dikatakan bagian daripada ketidak berdayaan hukum, yang perlu dikaji lebih komperehensif oleh dunia kampus. Apakah ketidak berdayaan hukum itu harus dibiarkan terus dan dirasakan serta menghantui masyarakat dan pada akhirnya masyarakat frustasi dan dengan gerakan People Power melakukan kehendaknya sendiri untuk mengingatkan negara agar membuka ruang keadilan bagi masyarakat, mengingat kehidupannya tidak lagi sejahtera (di PHK, tidak bekerja, tidak berdagang, dan lain sebagainya).
*Dr Jogi Nainggolan, SH., MH (Kompol Purn). Penulis adalah Dosen D-III Kepolisian dan S1 Unla, Advocat dan pemerhati masalah hukum, sosial, dan politik